PETASULTRA.COM – JAKARTA. Kasus pencabulan dan sodomi oleh oknum pimpinan Lembaga Pendidikan Agama berinisial DS kepada beberapa santri di Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara sangat mengejutkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise.

Kejadian berlangsung sejak Tahun 2018 berdampak pada kondisi psikologis para korban. Bahkan ada santri yang mengaku mendapatkan pelecehan seksual dari pelaku setiap Minggu.

“Saya sungguh menyayangkan kejadian yang menimpa para santri. Para orangtua menitipkan anaknya di pesantren untuk mendapatkan pendidikan moral dan agama yang baik, untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, malah disalah gunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Kita harus mengawal kasus ini hingga tuntas. Terutama dalam hal pemulihan psikologis anak – anak kita,” ujar Menteri Yohana Selasa (14/05/2019).

Kasus ini diungkap oleh para Santri yang ketakutan dan kekesalan mereka akhirnya, tanggal 13 Maret 2019 malam, sekira 30 orang memutuskan bercerita kejadiannya kepada salah satu warga sekitar pesantren dan direspon cepat kejadian ini dengan membawa mereka ke Balai Desa Padang Tualang untuk selanjutnya Kepala Desa dengan sigap melaporkan kejadian ini ke Polres Langkat.

Baca Juga  Kajari Sumedang Harap Wartawan IWO jaga Kode Etik Jurnalistik Dalam Pemberitaan

“Penyelesaian kasus ini menjadi tanggung jawab semua pihak. Kita harus benar – benar memastikan kondisi anak korban dan penanganannya. Terlebih ini sudah berlangsung cukup lama. Penanganan psikologis yang tidak tuntas dikhawatirkan akan berdampak pada potensi anak korban menjadi pelaku di kemudian hari,” ujar Valentina Ginting, Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, usai melakukan peninjauan langsung ke lokasi kejadian perkara.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Ketua P2TP2A Kabupaten Langkat, 8 orang santri yang menjadi korban teridentifikasi mengalami trauma berat dan membutuhkan penanganan yang cukup serius.

“Kami telah melakukan asesmen dan konseling terhadap 17 anak korban. Dari 17 anak, 8 orang anak teridentifikasi mengalami trauma berat, 5 orang mengalami trauma dan sisanya tidak teridentifikasi mengalami trauma. Hal ini tentunya menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan, karena untuk proses penyembuhannya membutuhkan waktu berbulan – bulan. Ditambah lagi, ada anak korban yang sudah tertular penyakit kelamin,” ujar Ernis selaku Ketua P2TP2A yang menangani langsung asesmen dan konseling anak korban.

Baca Juga  Usai Iringan Konvoi RAPI, Mobil Beratribut Demokrat-Nasdem Terlibat Tabrakan Beruntun

Pihak DP3A Kabupaten Langkat dan P2TP2A juga menuturkan bahwa mereka terkendala dalam melakukan monitoring dan menghadirkan anak – anak dalam proses pembuatan BAP di Kepolisian. Hal ini disebabkan lokasi tempat tinggal anak korban tersebar di beberapa wilayah yang jaraknya cukup jauh dari Kabupaten Langkat. Belum lagi harus mengadapi kemungkinan penolakan dari orang tua korban.

“Kami sangat mengapresiasi berbagai upaya penyelesaian dan pendampingan yang telah dilakukan oleh pihak Kepolisian, Dinas PPPA, P2TP2A dan Pemerintah Daerah setempat. Kami harap kasus ini harus terus dikawal dan semua orang harus terlibat dalam upaya pemulihan kondisi psikologis anak korban. Kita juga memiliki PR besar untuk mencegah anak – anak ini mendapatkan stigma dari masyarakat yang mungkin akan memperburuk kondisi psikologis mereka. Orangtua korban juga harus mulai diedukasi terkait dampak yang mungkin ditimbulkan di masa depan pada anak – anak mereka jika proses pemulihan atau trauma healing tidak dilakukan secara tuntas. Kemen PPPA akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas,” ujar Valentina.

Baca Juga  Kerap Manuver, Pilihan Politik Pribadi UB Untungkan Petahana yang Diusung PDIP

Valentina menuturkan bahwa Kemen PPPA menjamin perlindungan anak dan mendorong berbagai pihak, mulai dari DP3A Kabupaten, Dp3A Provinsi, Kepolisian hingga Kejaksaan untuk menyelesaikan kasus ini dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. (Red)