PETASULTRA.COM – JAKARTA. Pemilu Presiden 2019 sudah usai. Namun luka sosial akibat polarisasi politik pemilu itu masih menganga.
Untuk kasus Indonesia, tak ada momentum yang lebih besar dibandingkan Idul Fitri untuk penyembuhan luka sosial. Idul Fitri sudah menjadi tradisi mengembangkan sikap saling meminta maaf dan memaafkan.
Di samping mudik lebaran, khusus untuk Idul Fitri kali ini kita kembangkan juga mudik kebangsaan. Mudik lebaran adalah tradisi pulang ke kampung halaman berkumpul bersama keluarga, merayakan kemenangan setelah 30 hari puasa.
Mudik kebangsaan juga pulang ke kampung halaman kita sebagai satu bangsa. Kampung kebangsaan itu adalah Sumpah Pemuda tahun 1928. Kembali kita berkumpul pada ikrar itu untuk berbangsa satu Bangsa Indonesia, melampaui sekat agama, suku, bahasa, dan kubu politik.
Setelah usai pemilu presiden, terasa empat jenis luka sosial. Keempat luka itu jika tidak cepat disembuhkan, potensial semakin menganga, semakin perih. Pada ujungnya, ia akan mengganggu kenyalaman hidup bersama.
Pertama, luka karena pembelahan kubu politik. Tak hanya komunitas dan forum perkawanan, namun bahkan dalam keluarga, pembelahan kubu politik itu terasa. Semangat membela Jokowi dan membela Prabowo, acapkali juga diwarnai dengan serang menyerang, menghujat, bahkan ikut menyebarkan berita bohong yang berbahaya.
Kedua, luka karena pembelahan paham agama dan teritori. Pertarungan politik lima tahunan mendalam dan meluas dengan melibatkan sentimen agama. Jokowi menang telak di provinsi yang agama minoritasnya dominan. Juga Jokowi menang telak di Jatim (NU dominan) dan Jateng (Islam Abangan dominan). Tapi Jokowi kalah telak di Aceh, Sumbar, Riau, Banten dan Jabar.
Ketiga, luka karena menurunnya social trust. Persaingan politik meluas pula pada kampanye untuk tidak mempercayai lembaga sosial politik, seperti media, polisi, KPU, MK, bahkan lembaga presiden. Menurunnya trust pada lembaga resmi justru dapat membahayakan efektivitas pemerintahan. Pada gilirannya, lembaga sosial politik itu akan semakin kurang daya cengkramnya untuk ikut menyatukan kembali masyarakat.
Keempat, luka karena persaingan politik telah pula diwarnai oleh politik kekerasan. Tak hanya kekerasan verbal, bahkan kekerasan fisik melalui kerusuhan terjadi. Akibatnya penangkapan dan penahanan terjadi. Jatuh pula korban manusia.
Empat luka ini masih menganga. Perlu upaya komprehensif untuk menyembuhkan luka sosial itu. Ibaratnya, bendera merah putih agak terkoyak. Perlu bersama kita menjahitnya kembali.
Mulailah dari batin. Itu petuah dan petatah – petitih yang sering kita dengar dari tradisi. Penyembuhan perlu dimulai dengan kesungguhan rohani. Yang lainnya, akan mengikuti.
Tentu banyak hal dalam sistem politik, kualitas pemilu yang perlu diperbaiki. Namun harus tetap ada langkah pertama untuk mulai menjahit merah putih.
Langkah awal itu adalah menyembuhkan luka batin diri kita masing – masing. Meminta maaf atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat, baik yang disengaja ataupun yang tak disengaja.
Tak ada momentum yang lebih besar dibandingkan lebaran untuk saling meminta maaf dan memaafkan secara nasional.
Mulailah para pemimpin bersilahturahmi lebaran. Sambil meminta maaf dan memaafkan selaku insan agama, juga meminta maaf dan memaafkan selaku warga negara, selaku pemimpin dan selaku aparat negara.
Lakukanlah dari hati. Yang dari hati sampai juga ke hati. Di atas politik, lebih dalam dari politik, lebih tinggi dari politik, bersinggasana hati manusia. Mulailah dari sana, dari hati, setulusnya.
Marilah sambil merayakan lebaran, kita juga mudik kebangsaan. Marilah kita kembali kepada kampung halaman kebangsan kita. Ialah ikrar berbangsa satu: bangsa Indonesia, Selasa (05/06/2019). (Red)
[artikel number=5 tag=”tokoh”]