PETASULTRA.COM – MANADO. Pada siaran persnya Kamis (16/08/2019) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan 11 Kementerian/Lembaga dan lebih dari 30 Organisasi/Lembaga masyarakat yang bergerak di bidang pendampingan anak dan perempuan lakukan deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Manado Sulawesi Utara.

Menteri PPPA, Yohana Yembise, pada 3 November 2017 di Jakarta meluncurkan hal ini sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 72 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebab angka perkawinan anak di Indonesia menempati urutan ke – 7 tertinggi di dunia dan menempati urutan ke – 2 tertinggi di ASEAN.

Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF) merilis laporan analisis data perkawinan usia anak pertama kalinya di Indonesia, angka perkawinan usia anak atau perkawinan di bawah usia 18 tahun di Indonesia tergolong tinggi sekira 23 persen.

Foto Bersama Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Manado Sulawesi Utara.

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari mengajak untuk melakukan perubahan mencegah terjadinya perkawinan anak karena memiliki dampak yang sangat memprihatinkan bagi tumbuh kembang anak.

Baca Juga  Menteri Yohana Bilang Terlambat Menolak Hukuman Pidana Kebiri

Sementara itu perwakilan Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Olly Dondokambey oleh Kepala Dinas PPPA Provinsi Sulawesi Utara, Mieke Pangkong menyampaikan perkawinan anak merupakan sebuah bentuk praktik yang sangat potensial merugikan tumbuh kembang anak dan perlindungan anak. Oleh karena itu, menikah pada usia anak adalah hal yang sangat mutlak untuk ditolak.

Untuk itu, pada Kampanye Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak ini, Provinsi Sulawesi Utara siap mencegah perkawinan anak untuk Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045 dengan bersama – sama menandatangani deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak, “Saya berharap kampanye ini dapat mendorong adanya payung kebijakan dalam pencegahan dan penghapusan terhadap praktik perkawinan anak. Karena, upaya yang kita lakukan saat ini adalah mengubah mindset, baik dari para pengambil keputusan maupun masyarakat dan keluarga, bahwa perkawinan anak sangat merugikan bagi negara, masyarakat, bahkan anak itu sendiri,” ujar Mieke. (Red)