PETASULTRA.COM-MUNA. Tren angka partisipasi pemilih dalam perhelatan politik Indonesia, tak terkecuali Sulawesi Tenggara berfluktuasi: kadang sedikit melandai, kadang pula sedikit menanjak. Pada Pilkada 2015 lalu, misalnya, angka partisipasi rata-rata di Pilkada serentak dikisaran 70%. Hanya Kabupaten Muna yang partisipasi pemilu 2015 dikisaran angka 65,99%. Partisipasi ini kembali menurun di Pilgub Sultra 2018 dengan angka partisipasi sebesar 56,47%. Namun pada pemilihan serentak 2019 partisipasi pemilih Kabupaten Muna kembali menanjak diangka 75%.
Inilah fenomena ganjil yang muncul sejak pemilu dengan metode langsung dan dikhawatirkan berlanjut hingga menjelang perhelatan Pilkada Muna 2020 ini. Betapa tak ganjil, di tengah kian besarnya angka pemilih mengambang (floating voters) dan ledakan partisipasi pada pilkada Muna diprediksi mewujud dalam bentuk komunitas RELAWAN politik. Orang-orang yang kebanyakan tak punya kaitan dengan partai, tiba-tiba mendapat kegairahan berpolitik. Mereka menisbahkan dirinya dengan kandidat, bukan pada partai, bahkan cenderung berseberangan dengan partai.
Relawan, berasal dari kata “rela” yang berakhiran “wan” merujuk pada personifikasi sosial yang mengorganisasi dirinya secara ikhlas mempengaruhi publik sehingga tak kalah progresif untuk bersaing kerja dengan mesin partai politik. Secara faktual, Relawan mengalami gradasi makna. Olehnya itu relawan daalam konteksnya dipilah menjadi dua, yakni Relawan Progresif-Radikal & Relawan Progresif-Profesional.
RELAWAN PROGRESIF-RADIKAL
Relawan tipe ini biasanya gabungan Aktivis Praktis & Komunitas Perangkat Keras. Kerja relawan tipe ini militan, namun menguras energi kandidat. Progres kerja ditentukan bahan bakar yang disuplai kandidat. Jika suplai berhenti maka kerja konsolidasi diakar rumput terhenti pula. Uniknya, ledakan semangat yang yang mengharu biru baik dunia nyata hingga dunia maya, ternyata tak berbanding lurus dengan hasil di bilik suara. Tipe ini dikenal dengan sistem kerja radikal, mengejar jabatan, dan uang.
Berbagai event politik biasanya menyisakan sendu pilu bagi relawan radikal. Mereka yang kerja mengharapkan jatah malah tidak kebagian kue kekuasaan. Tak ayal relawan radikal ini berbalik menjadi pembenci (Barisan Sakit Hati) dan menisbahkan diri menjadi oposisi. Mulai mengungkit aib sana sini dan tak jarang fitnah pun diumbar gegap gempita. Kisruh ini akan terus berlanjut hingga akhirnya kismis kue tadi dapat dirasakan.
RELAWAN PROGRESIF-PROFESIONAL
Relawan tipe ini digadang-gadang sebagai tipe modern. Relawan ini biasanya diisi oleh mereka yang dikenal sebagai Aktivis Ideal. Sistem kerja berlandaskan cita-cita ideal, sistematis, masif, dan terukur, bukan karena mengejar jabatan, apalagi “segepok” uang. Karena diisi oleh para profesional maka selalu diajak komunikasi, dan biasanya setelah masa tugas selesai maka mereka tidak butuh apapun.
Jadi, siapakah sesungguhnya yang berhak memakai baju relawan? Apakah istilah itu pas dilekatkan pada sebuah organisasi/komunitas hanya karena mereka secara emosional dekat dengan partai atau kandidat? Atau kah mereka yang mencurahkan tenaga, waktu, dan materi demi perjuangan cita-citanya?. Biar langit yang akan menjawab itu.
Penulis oleh Rahman Paramai, aktivis JPPR Sultra