PETASULTRA.COM – JAKARTA. Juru masak Perancis, Paul Bocuse, di tahun 1960an berkata : “Jika dunia film memiliki academy award yang dipilih setiap tahun, kami di dunia makanan, dan komunitas kuliner memiliki Micheline Guide.”
Setiap tahun, dunia film, para artis, aktor, sutradara, dan peminat film berdebar menanti. Film manakah, atau siapakah sutradara yang akan terpilih dalam academy award tahun ini. “Kami di dunia kuliner juga berdebar yang sama. Kami menunggu restoran mana yang akan muncul dan hilang mendapatkan bintang dari Micheline Guide.”
Sejak tahun 2012, saya ingin mengalami apa rasanya restoran yang mendapatkan bintang satu, dua dan tiga dari Micheline Guide. Bintang satu berarti makanan dengan kualitas tinggi. Bintang dua lebih baik lagi: makanan dengan kualitas istimewa. Bintang tiga adalah puncaknya: makanan dengan kualitas super – istimewa.
Pengetahuan soal Micheline justru saya dapat dari anak bungsu saya. Saat itu ia berusia 10 tahun. Kami berkunjung ke Copenhagen. Ia sangat suka makanan dan sangat akrab dengan dunia internet.
Ketika datang ke Copenhagen, 2012, ia sudah berpesan : “Ayah, jangan lupa minta tour guide kita untuk reservasi di resto Kokkeriet.” Saya tanya, itu restoran apa? Jawabnya : itu restoran di Copenhagen yang mendapat bintang Micheline.
Kepada tour guide itu saya sampaikan pesan itu. Namun secepat itu pula ia merespon. Ujarnya, untuk mendapatkan meja di restoran kelas bintang Micheline, harus reservasi dua sampai tiga bulan sebelumnya. Kita tak bisa pesan mendadak.
Namun saya dorong ia untuk mencoba dulu reservasi dengan jaringan yang ia punya. Sekitar satu jam saya menunggu ia telefon sini dan sana. Ujarnya, maaf pak, memang semua sudah fully booked.
Bahkan, tambahnya lagi, Michele Obama pernah pula mendadak ingin datang ke sana. Padahal waktu itu ia adalah first lady Presiden Amerika. Tapi ia ditolak karena semua customer diperlakukan sama.
Sejak saat itu, Micheline Star menjadi perhatian. Setiap liburan anak – anak, hampir setiap tahun, memang saya sengaja membawa mereka melihat kekayaan peradaban di luar negeri. Di samping kunjungan ke museum tokoh sejarah, kuliner yang unik di negara itu juga menjadi tempat belajar dan wisata.
Di beberapa negara, termasuk di London, akhirnya saya mengalami makan di restouran yang mendapatkan bintang dari Micheline.
Yang berbeda dengan restoran biasa, di sana makanan sudah menjadi ilmu dan seni. Memang cara penyajian makanan resto dengan bintang Micheline berbeda dari satu resto ke resto lainnya. Berbeda pula dari satu negara ke negara lainnya.
Namun tetap ada plaform yang serupa: selalu ada penjelasan dari host di satu meja soal seputar makanan yang disajikan. Makanan juga disajikan seperti benda seni. Tak hanya rasa, tapi texture, aroma dan warna makanan diperhatikan.
Malam itu, Juli 2019, kami makan malam di Dinner by Huston Blumenthal, Hotel Mandarin London. Dari appetizer (makanan pembuka), main course (makanan utama) hingga dessert (makanan penutup), penjelasan demi penjelasan disampaikan.
Host itu menjelaskan, apa bahan utama makanan. Dari mana bahan itu berasal. Apa yang menjadi bumbu utama. Bagaimana cara memasaknya.
Pernah saya mengalami di satu restoran Micheine star bintang dua, kami makan malam berganti piring sampai sembilan kali. Setiap kali berganti piring, host memberi penjelasan. Kadang info yang ia sampaikan soal data makanan. Kadang juga soal teori memasak.
Segera pula saya pelajari hal ihwal soal makanan sebagai seni. Tiga nama ini menonjol berkontribusi. Dan tiga nama itu uniknya bukanlah juru masak atau pemilik restoran. Mereka adalah industrialis, penulis politik dan penyair.
Kata “Micheline” dalam Micheline Guide atau Micheline star berasal dari nama dua adik kakak: Andre Micheline (1853 – 1931) dan Edouart Micheline (1859 – 1963). Mereka adalah pengusaha ban mobil.
Awalnya di tahun di tahun 1900. Perancis saat itu hanya memiliki 3000 mobil yang bergerak di jalanan. Sebagai industrialis pengusaha ban mobil, dua kakak beradik Micheline membuat buku panduan Micheline. Tujuan utamanya adalah petunjuk dimana saja di Perancis lokasi bengkel dan pabrik ban Micheline.
Agar buku itu menarik, juga disertakan nama dan alamat hotel. Buku panduan itu terkenal karena memang dibutuhkan oleh pemilik mobil yang ingin berpergian, terutama ke luar kota.
Sekitar tahun 1920, dua puluh tahun kemudian, panduan buku itu dilengkapi pula dengan nama dan lokasi restoran. Tak hanya bengkel ban dan hotel, kini buku panduan Micheline juga memiliki nama dan lokasi restouran.
Karena khawatir mereka memberikan informasi yang buruk soal restouran, merekapun mulai memberikan rating. Restoran yang direkomendasikan diberi bintang satu, atau dua atau tiga. Semakin banyak bintang, semakin bagus kualitas restoran itu.
Ternyata publik luas lebih menyambut informasi soal restouran. Usaha ban Micheline juga sudah tutup. Buku panduan Micheline akhirnya berevolusi hanya untuk rating restoran saja. Tak hanya untuk restoran di Perancis, tapi mulai merambah ke seluruh Eropa, Amerika, dan dunia.
Para penilai Mechiline sangatlah ketat dan independen. Karena profesionalitas itu, penilaian mereka berwibawa. Aneka hal menjadi kriteria untuk mendapatkan bintang Micheline.
Bahan makanan yang disajikan harus dari kualitas yang unggul. Harus terasa keahlian juru masak mengolah makanan. Tak hanya rasa makanan, tapi juga harus nampak dari presentasi makanan: bentuk, warna, texture dan aroma yang berkelas seni.
Makanan dengan rasa dan presentasi yang sama harus pula konsisten jika ia disajikan dalam waktu yang berbeda. Tamu di restoran itu harus juga merasakan pengalaman yang menyenangkan. Termasuk dalam pengalaman itu, ia memperoleh pengetahuan soal sajian yang ia makan.
Keseluruhan pengalaman lunch atau dinner di restoran itu menggambarkan personality dari juru masak. Pastilah restoran yang mendapatkan Michiline Star memiliki juru masak yang sangat ahli dan berpengalaman.
Namun tradisi Michiline Guide untuk restoran hanya mungkin tumbuh di atas kultur kuliner yang sudah berkembang. Ialah kultur yang membuat masakan sebagai seni. Ialah kultur yang juga memberlakukan makanan sebagai ilmu.
Nama lain yang penting untuk tumbuhnya kultur kuliner: Jean Anthelme Brillat-Savarin (1755 – 1826). Ia juga bukan juru masak dan bukan pemilik restoran. Ia penulis isu politik yang senang dengan masakan.
Kutipannya yang terkenal : “katakan pada saya apa yang kamu makan. Saya akan tahu siapa kamu.” Ucapan itu kemudian disingkat menjadi “you are what you eat.”
Savarin banyak menulis dan mempengaruhi opini. Menurutnya makanan itu sangatlah penting. Makanan bukan saja diperlukan untuk kesehatan. Namun makanan juga harus menarik pandangan mata, dan menawarkan aroma yang menggairahkan.
Savarin kemudian ikut mempopulerkan makanan sebagai seni. Ia juga menganjurkan ilmu soal makanan harus berkembang. Savarin sendiri menganjurkan makanan dengan diet kalori agar sehat. Gastronomi menjadi istilah keseluruhan ilmu dan seni makanan yang ikut dipopulerkan Savarin.
Dari mana nama Gastronomi berasal? Ternyata itu bukan pula nama yang diberikan oleh juru masak atau pemilik restoran. Gastronomi itu judul puisi yang ditulis Joseph Bercoux di tahun 1801. Awal dari seni makanan ternyata adalah puisi.
Bagaimana pandangan saya sendiri soal aneka restoran Michilne star? Representasi makanan dan luxury dari restoran Michiline memang terasa kelasnya. Tapi rasa makanan itu memang sangat kultural. Riwayat hidup dan jejak panjang diri kita sendiri sudah membentuk selera.
Saya memang menikmati seni dan ilmu yang didapat setiap kali datang lunch atau dinner di restoran yang mendapat bintang Micheline.
Tapi soal rasa makanan? Tetap tak ada yang bisa menghapus sedapnya makanan ketika saya mahasiswa. Dengan dana yang sangat hemat, setalah diskusi soal politik, agama atau seni atau filsafat, mampir ke soto madura di kantin kampus. Astaga nikmatnya.
Atau memori masa kecil di kampung halaman Palembang. Sore hari lewat tukang pempek di depan rumah. Sambil duduk di teras, makan pempek, menghirup cuka, amboi gurihnya.
Sungguh saya sangat fleksibel soal makanan. Asyik menikmati seni makanan di restoran berbintang Michline star. Tak kalah asyik santapan sop dan sate kambing di pinggir jalan di jalan pramuka, Jakarta. Kamis (18/07/2019) (Red/*)