PETASULTRA.COM – JAKARTA. Lima puluh tahun dari sekarang, klaim kemenangan kubu Prabowo dalam pilpres 2019 tak lagi menjadi masalah politik praktis. Saat itu, klaim kemenangan kubu prabowo menjadi obyek studi akademik, kasus elit politik.
Kasus itu akan diangkat sebagai gambaran betapa gagapnya elit politik menerima kekalahan dalam negara demokrasi yang masih goyah. Dan betapa bantahan atas kekalahan itu ditunjukkan dengan klaim kemenangan sepihak yang bahkan cacat sangat elementer jika ilmu pengetahuan menjadi basisnya.
Renungan ini muncul seketika membaca kembali jejak digital klaim kemenangan kubu prabowo.
Seriuskah klaim kemenangan kubu Prabowo atas pilpres 2019 ini? Ataukah ini hanya manuver belaka dalam rangka negosiasi politik? Ataukah ini bagian dari “politics as usual,” dalam rangka who gets what and how?
Baiklah kita urut hal ihwal klaim kemenangan Prabowo dari jejak digital. Tulisan ini dibuat tanggal 17 Mei 2019, menjelang lima hari sebelum KPU umumkan hasil resmi pemenang pilpres tanggal 22 mei 2019 kelak.
Ketika hari pencoblosan tanggal 17 April 2019, setidaknya 6 lembaga survei yang kredibel umumkan kemenangan Jokowi di angka 54-55 persen. Quick Count atas hasil pemilu di Indonesia hal yang biasa dilakukan, terutama sejak pilkada 2005 hingga Pilpres 2014, dan hingga pilkada 2018.
LSI Denny JA sendiri sebagai misal, sudah melakukan lebih dari 200 quick count sejak 2005. Tak pernah sekalipun pemenang hasil quick count LSI berbeda dengan hasil KPU atau KPUD 14 hari atau 40 hari kemudian.
[artikel number=5 tag=”politik”]
Rekor LSI Denny JA, yang mendapatkan penghargaan MURI soal quick count, selisihnya 0.00 persen dibandingkan hasil KPUD. Alias itu hasil quick count itu sama persis dengan hasil KPUD hingga ke dua angka di belakang koma. Itu terjadi untuk pilkada di wilayah NTB tahun 2010.
Pada Pilpres 2019, tanggal 17 April itu, LSI Denny JA juga mengumumkan kemenangan Jokowi di angka 55,71 persen. Lembaga survei kredibel lainnya juga mempublikasikan kemenangan Jokowi diangka yang mirip. Perbedaan angka kemenangan hanya dalam rentang sekitar 1 persen saja.
Kubu Prabowo membantah hasil quick count dan mengklaim kemenangannya sendiri. Di bulan April juga, Kubu Prabowo secara resmi menyebut punya perhitungan sendiri, berdasarkan REAL COUNT, bukan QUICK COUNT.
Di bulan April 2019, dengan data real count 40 persen yang masuk, kubu Prabowo megklaim kemenangan di angka 62 persen! Pesta kemenanganpun dibuat oleh kubu ini dengan segala gegap gempita.
Di awal Mei 2019, Kubu Prabowo secara resmi kembali mengklaim kemenangan. Kali ini angka kemenangan berubah menjadi 54,24 persen. Tapi tetap dikatakan ini berdasarkan REAL COUNT. Data yang masuk sebanyak 54,91 persen. Alias data 444,976 TPS dari 810.329 TPS yang ada.
Seriuskah Kubu Prabowo dengan klaim kemenangan itu? Sadarkah kubu Prabowo bahwa segala manuvernya itu tak bisa dihapus dan menjadi bahan sejarah kelak?
Tak perlu kritik ideologi. Cukup dengan kritik matematika dan statistika elementer, sudah dapat dibaca salahnya klaim kemenangan Prabowo itu.
Dalam ilmu logika, kesalahan klaim Prabowo ini masuk dalam kategori logical fallacy, yang disebut Hasty Generalization. Ini adalah kesalahan membuat generalisasi (jumping to conclusion). Yaitu mengambil kesimpulan yang tidak sahih, karena hanya mendasarkan diri pada data induktif yang tak memadai.
Bagaimana mungkin dengan data yang baru terkumpul 40 persen, yang bukan random sampling, bisa mengklaim seolah – olah seperti data sudah terkumpul 100 persen? Apa basisnya menyimpulkan 60 persen data yang belum terkumpul akan menyerupai pola data 40 persen yang terkumpul.
Terbukti sudah, yang terjadi kubu Prabowo kemudian membantah datanya sendiri. Kemenangan 62 persen yang diklaim kubu Prabowo diralatnya sendiri menjadi kemenangan 54,24 persen. Semua itu disajikan dengan terbuka, dan enteng – enteng saja.
Segera muncul pertanyaan, mengapa kubu Prabowo mengkritik datanya sendiri, lalu mengoreksinya? Bukankah itu tak lain kubu Prabowo menyatakan klaim kemenangan 62 persen itu ternyata keliru.
Kok klaim kemenangan Prabowo bisa keliru? Tak ada keterangan kecuali tim Prabowo sendiri menunjukkan sudah lebih banyak data masuk. Sebelumnya hanya 40 persen (klaim menang 62 persen) kini data sudah masuk 54, 9 persen (klaim menang 54,24 persen).
Peristiwa ini sendiri sudah menunjukkan betapa data yang belum masuk itu bisa mengubah hasil. Lalu mengapa mengulangi lagi kesalahan? Mengapa perlu membuat klaim kemenangan baru?
Kan data yang masuk juga belum memadai? Baru masuk 54, 9 persen? Bukankah mengikuti pola sebelumnya, 44 persen data yang belum masuk bisa mengubah angka kemenangan.
Mereka yang ahli di kubu Prabowo tentu sangat mengerti perbedaan basis perhitungan Quick Count dengan Real Count. Jumlah kasus pada Quick Count memang jauh lebih kecil. Tapi basis perhitungannya dilakukan dengan multistage random sampling. Walau kasus yang menjadi sampel jauh lebih sedikit, tapi ia valid menggambarkan populasi.
Sebagaimana validnya sampel darah yang beberapa tetes saja untuk test labolatorium. Beberapa tetes darah itu dapat menggambarkan keseluruhan darah di tubuh kita.
Tapi Real Count memiliki basis yang berbeda. Sebelum data real count terkumpul 90 persen, hasil menyeluruh belum bisa disimpulkan dengan pasti. Bahkan untuk kemenangan yang sangat tipis, diperlukan perhitungan Real Count yang tuntas 100 persen.
Hasil sementara Real Count dapat berubah – ubah sesuai dengan asal muasal data. Jika data masuk terlebih dahulu dari provinsi yang Prabowo menang, hasil sementara seolah Prabowo menang. Jika data masuk terlebih dahulu dari provinsi yang Jokowi menang, hasil sementara Jokowi menang.
Menyimpulkan real count dari data yang baru masuk 40 persen, bahkan 60 persen itu adalah komedi dalam statistik. Itu kesalahan yang terlalu elementer.
Tentu saja kubu Prabowo sepenuhnya berhak untuk menggugat hasil KPU. Negara demokrasi, termasuk Indonesia, menyediakan fasilitas untuk itu : sidang Mahkamah Konstitusi. Di sanalah hal ihwal dibuka di meja. Bukti akan mengalahkan prasangka.
Tapi sudah pasti, kubu Prabowo tak dapat mengklaim menang dengan hanya membawa 60 persen data yang masuk. Data 60 persen, tak pernah memadai untuk mewakili hasil 100 persen.
Tapi jika klaim kemenangan itu dimaksudkan sebagai bagian dari negosiasi politik, itu hal yang lain lagi. Itu sudah diluar kewenangan ilmu pengetahuan untuk membahasnya secara terbuka. Ia sepenuhnya percakapan dalam bilik yang tersembunyi, Jumat (17/05/2019). (Red/*)